Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Uyeg
Menurut keterangan Abah Itasalah
seorang bekas pimpinan –terakhir Uyeg-Lama, asal-usul kelahiran seni Uyeg ini,
sebagaimana tuturannya dalam bahasa sunda : “Ari diadegkeunana kasenian Uyeg
mah, anggeus tibabaheula keneh ku para karuhun menak-menak Bogor”
(didirikannya kesenian Uyeg ini, sudah semenjak lama oleh leluhur para bangsawan
Bogor).
Keterangan lain dari tokoh seorang
Tokoh Pajajaran Bogor (Rd. Muchtar Kala, alm), kesenian Uyeg selalu ditampilkan
pada upacara “Seuren Tahun Tutug Galur” di Pakwan
Pajajaran, sebagai salah
satu upacara mengagungkan
Ambu Sri Rumbiyang Jati (dewi kesuburan padi) dan Sang Ayah Hyang Guru Bumi
(dewa kesuburan tanah).
Pelaksanaannya pada waktu malam purnama, setelah delapan hari sebelumnya
diawali oleh kegiatan upacara Gondang
Pupulur,Gondang Balabar,Gondang Papag Pasang
(nyampeur), Gondang Matuh Dumuk (nyalikkeun).
Informasi lain yang bisa memperkuat
kedua keterangan di atas, yakni sanggahan ADENAN TAUFIK (Seniman/ Karyawan
Museum Sejarah Perjoangan Bogor) atas ceramah Drs. WAHYU WIBISANA pada acara
pertemuan para budayawan Wilayah – II Bogor dengan para Budayawan Jawa barat
bulan Oktober 1987 di pendopo Kabupaten Bogor. Pada forum tersebut Wahyu
Wibisana pada ceramahnya mengutarakan tentang kesenian Uyeg sebagai puncak
kesenian daerah Kota Sukabumi yang telah cukup terkenal, baik di forum Jawa
Barat maupun Nasional.
Pada kesempatan itu Adenan Taufik
memberikan sanggahan, kalau Seni Uyeg aslinya berasal dari Bogor. Sebagai
pembuktian sanggahannya, diutarakan pula bahwa pada waktu itu (Oktober 1987) seni
Uyeg-Asli masih ada dan hidup lestari di kampung Leuweung Kolot – Kabupaten Bogor.
Dari keterangan-keterangan diatas,
semuanya menjelaskan, bahwa seni Uyeg berasal dari Bogor. Hal ini diakui lebih
dahulu oleh Abah Ita (Alm) sebelum munculnya kedua informasi dari Rd. Muchtar
Kala dan Adenan Taufik. Seni Uyeg yang dipimpin Abah Ita, merupakan rombongan
generasi IV dari seni Uyeg “Ayah Akung” dari Cianten - Kabupaten Bogor. Setelah
mengarungi perjalanan yang panjang melalui beberapa tempat, seni Uyeg bawaan
Ayah Akung ini berakhir di kampung
Citepus daerah Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi dan
menemui kemusnahannya pada tahun 1950-an dalam pimpinan Abah Ita.
Beranjak dari data-data informasi
di atas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa asal-usul seni Uyeg dapat dipastikan
merupakan “Kelahiran Bogor”, setidak-tidaknya pernah hidup serta
mengalami kegemilangannya di Bogor.
Dalam kaitan dengan proses
kelahirannya, informasi dari Rd. Muchtar Kala
dihubungkan dengan dasar-dasar filosofi
dari ciri-ciri mithis yang masih lekat dan utuh pada setiap repertoirenya,
memiliki proyeksi penanganan terrencana.
Pakwan Pajajaran sebagai sentra peristiwa-peristiwa seremonial yang lekat dengan
bias pengaruh keraton,
akan besar pula pengaruhnya kepada nilai serta mutu ritual Seni Uyeg yang
difungsikan sebagai salah satu wahana pengagungan “Sri” dan “ Guru Bumi” pada
masa itu. Dalam arti, seni Uyeg yang difungsikan sebagai pengisi upacara
ritual, proses pelahirannya tidak terlepas dari
konsep-konsep hasil pemikiran manusia-manusia yang telah mapan. Figur mithis Sri dan
Guru Bumi (Kuwera) sangat melekat
(inherent) dalam pandangan
hidup ritus masyarakat agraris ladang,
seperti kini masih bersisa di lingkungan masyarakat kanekes (Baduy) dan
beberapa daerah Banten Selatan lainnya.
Secara hipotesis, ketatnya sikap
religi inilah yang mampu mempertahankan ciri-ciri mithis arkaik pada kesenian
Uyeg yang punah pada dasawarsa tahun 1950-an
Misi filosofis dibalik ciri–ciri mithis arkaik
seni Uyeg, mengandung tuntutan bagi manusia sebagai makhluk jagat raya yang
mesti yakin atas kekuasaannya Sang Maha Pecipta, antara lain:
Ciri
Pertama
: makna filosofis kata “Uyeg”.
Uyeg = Oyag (goyang, bergerak). Kata Uyeg dimaknai gambaran Alam-Semesta serta
isinya, yang atas kodratnya masing-masing tiada henti bergerak. Bulan,
matahari, bumi, angin, air, bahkan fikiran manusia terus bergerak tak pernah
beku.
Ciri Kedua : makna filosofis kain backdrop
dwi-warna Hitam Putih yang disebut “Peundeung”. Warna hitam melambangkan “Buana
Peteng” dan warna putih lambang “Buana Padang”. Dua sifat alami yang berlawanan
: siang dan malam, hujan dan kemarau, jantan dan betina, susah
dan senang, hidup dan mati, salah dan benar. Kain peundeung dalam setiap
pergelaran, senantiasa goyang, baik disengaja digerak-gerakkan
oleh para pemain yang menunggu dibelakangnya, atau karena tanpa sengaja ditiup
angin. Bergerakkain ini sebagai menifestasi dari gambaran uyegnya “Alam Uyeg”
(Alam Semesta).
Raja Uyeg |
Ciri Ketiga : adanya peran karakter “tetap” dalam seluruh repertoir, yakni
peran “Raja Uyeg” (lengkapnya Sanghyang Raja Uyeg). Tokoh karakter ini pemunculannya selalu tiga kali
dalam setiap cerita, yakni pada awal cerita mau dimulai, interval
ditengah-tengah cerita dan pada catastrophe
(akhir cerita). Tokoh ini melambangkan “Penguasa Alam Uyeg”, berkuasa
melahirkan (pemunculan pertama), menghidupkan dan menghidupi
(pemunculan ditengah cerita) dan memusnahkan (pemunculan akhir)
Ketiga ciri utama
diatas membuktikan kejelasan adanya persistensi konsepsi dari pada pelahir awal
Seni Uyeg, dalam proses pelahirannya. Dari penggunaan kain backdrop berwarna “Hitam-Putih” pun disisi makna filosofis
sebagaimana dipaparkan diatas, ini pun ada misi terselubung dari sikap ketaatan
kepada makna lambang keagungan “Pajajaran” yang diwujudkan dalam bentuk
“Umbul-Umbul Hitam Putih” (Bendera Pajajaran).
Beberapa generasi Seni Uyeg serta
nama-nama tokoh dan
daerah kegiatannya, yang sampai kepada Abah Ita sebagai pimpinan Seni Uyeg
(Lama) terakhir, antara lain :
Generasi
I |
: |
Seni Uyeg Cianten – Kabupaten Bogor,
pimpinan “Lurah Panjak” AYAH AKUNG |
Generasi
II |
: |
Seni Uyeg Kampung Palanggaran – Kabupaten Sukabumi,
pimpinan Lurah Panjak AKI SATIM (Aki Satim anak Ayah Akung, setelah Ayah
Akung meninggal, Aki Satim menggantikannya memimpin Uyeg Cianten, yang
kemudian membawa pindah rombongannya lalu menetap di Kampung Palanggaran) |
Generasi
III |
: |
Seni Uyeg Cikelat – Kabupaten
Sukabumi, Pimpinan AMBU SINAH. (Ambu Sinah seorang Ronggeng Uyeg Satim ia
dipercaya oleh anggota rombongannya untuk menggantikan pimpinan. Kemudian
Ambu Sinah pun membawa pindah rombongannya ke kampung Citepus daerah
Pelabuhanratu) |
Generasi
IV |
: |
Seni Uyeg Citepus – Kabupaten
Sukabumi, Pimpinan ABAH ITA. (Abah Ita anak Ambu Sinah hasil perkawinannya
dengan Aki Satim). Ia menggantikan ibunya memimpin Seni Uyeg Citepus, karena
Ambu Sinah bersuami lagi dengan Ki Aryana orang Kampung Cikaret dan menetap
di Cikaret). |
Generasi
V |
: |
Seni Uyeg Kota Sukabumi, pimpinan Anis
Djatisunda, diteruskan oleh keturunan Anis Djatisunda yaitu Isma Sundamaya
dan Wilang Sundakalangan. |
Posting Komentar